Nikah Tak Tercatat, Ancaman Bukan Cuma untuk Ibu dan Anak: Negara Juga Dirugikan

FB_IMG_1745039955391

“Nikah Tak Tercatat, Ancaman Bukan Cuma untuk Ibu dan Anak: Negara Juga Dirugikan”

Oleh: Adv. Dr. Dwi Joko Prihanto
Wakil Sekretaris Jenderal DPP DePA-RI

PONTIANAK  – Fenomena perkawinan tidak tercatat masih menjadi bom waktu sosial di Indonesia. Bukan hanya merugikan perempuan dan anak-anak, praktik ini juga berisiko merusak tatanan hukum dan administrasi negara secara menyeluruh.

“Perkawinan bukan sekadar ikatan cinta, tetapi harus sah di mata agama dan negara. Tanpa pencatatan resmi, dampaknya tidak hanya pada ibu dan anak, tapi juga pada sistem hukum dan sosial kita,” tegas Adv. Dr. Dwi Joko Prihanto, Wakil Sekjen DPP DePA-RI.

Ketika Negara Tak Tahu, Negara Tak Bisa Lindungi

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang telah diperbarui dengan UU No. 16 Tahun 2019 menegaskan: “Setiap perkawinan harus dicatat sesuai aturan yang berlaku.” Namun realitanya, masih banyak pasangan yang tidak mencatatkan pernikahan mereka karena alasan ekonomi, ketidaktahuan, atau bahkan disengaja.

Dampak Langsung kepada Perempuan dan Anak

Tanpa pencatatan resmi, perempuan kehilangan status hukum sebagai istri sah. Mereka tidak bisa menuntut nafkah, tidak dilindungi oleh hukum dalam kasus KDRT, dan tidak memiliki hak atas harta bersama saat suami meninggal atau bercerai.

Bagi anak-anak, status sebagai “anak luar kawin” menimbulkan ketidakjelasan hukum. Mereka harus melalui proses pengesahan melalui pengadilan agar diakui sebagai anak dari ayah biologisnya. Proses ini tidak hanya mahal, tapi juga memicu stigma sosial.

Dampak Lebih Luas: Administrasi Negara dan Norma Sosial

Tak banyak yang sadar, bahwa perkawinan tidak tercatat juga:

  • Mengganggu sistem waris, di mana istri, anak, bahkan suami bisa kehilangan hak karena tidak dapat membuktikan hubungan hukum.
  • Menimbulkan ketidakpastian status di dokumen negara, karena pasangan tetap tercatat sebagai “belum menikah”.
  • Memicu masalah hukum, seperti kesulitan dalam perceraian, perwalian anak, atau pembagian hibah.
  • Menambah kasus penelantaran dan kekerasan, tanpa konsekuensi hukum yang kuat bagi pelaku.
  • Merusak struktur hukum sosial, memperbanyak hubungan tanpa perlindungan hukum, dan melemahkan kedisiplinan warga terhadap hukum.

Solusi Ada, Tapi Harus Dilalui dengan Kesadaran

Dr. Dwi menegaskan, ada langkah hukum yang bisa ditempuh untuk memperbaiki situasi:

  1. Isbat Nikah di Pengadilan Agama untuk Muslim.
  2. Pencatatan Perkawinan bagi Non-Muslim di Dinas Dukcapil.
  3. Pengesahan Anak melalui proses hukum agar anak mendapat hak yang setara.
  4. Sosialisasi dan edukasi hukum di tengah masyarakat oleh tokoh agama dan pendidikan.

Seruan: Legalitas Perkawinan adalah Kewajiban Moral dan Hukum

“Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk tidak menganggap enteng pencatatan perkawinan. Ini bukan sekadar administrasi, tetapi bentuk nyata perlindungan hukum terhadap keluarga,” tutupnya.

Dengan kerjasama antara pemerintah, lembaga agama, tokoh masyarakat, dan dunia pendidikan, diharapkan keluarga-keluarga Indonesia akan lebih terlindungi—bukan hanya secara spiritual, tapi juga secara hukum dan sosial.

About The Author